Aku terus berjalan hingga tiba-tiba seorang pria menghampiriku.
“Hai cewe. Boleh kenalan gak?”
Dalam hati aku menggerutu. Jika aku ada pada tubuhku, tentu akan aku tendang perutnya. “Jangan ganggu saya. Pergi kau sana.”
“Galak amat lo,” balas pria itu.
Aku berpikir, apa aku manfaatkan dia saja, ya? Agar dia bisa membantuku.
“Kalau kau ingin berkenalan denganku dan jadi temanku, ada syaratnya,” kataku padanya.
“Apa tuh?” tanyanya kemudian dengan penasaran.
” Tolong aku. Apapun itu.” jawabku kemudian.
“Apapun? Hmm, oke deal.”
“Aku Glora.” Aku menjulurkan tanganku. Sejujurnya geli sendiri, aku harus bersalaman dengan sesama jenis.
“Hai Glora, gue Bima. Jadi lo butuh bantuan apa?” tanyanya kemudian.
“Tolong antarkan aku ke jalan Sarasa, Gg. Melati”
“Oalah gue kira lo mau mobil, rumah, atau apa gitu. Lah ternyata cuma cari alamat?”
“Emm, iya. Cepat antarkan aku ke alamat itu.” kataku.
“Okey, langsung naik ke mobil aja”
Selama perjalanan, aku mengingat jalan yang sedang aku lewati dengan Bima. Hingga mobil berhenti tepat di depan gerbang rumahku. Aku menyuruh Bima untuk menunggu di mobil.
“Assalamu’alaikum” ucapku ketika sampai di depan pintu rumah.
“Mau cari siapa ya?” Yang keluar bukan ayah atau ibu, dia bibiku. Yang setiap saat selalu ada di rumah. Yang setiap saat selalu ada ketika aku butuh pelukan.
“Ada Tuan Andre?” tanyaku kemudian.
“Bapak sedang tidak ada mbak, dia sedang di rumah sakit. Ini pasti temennya Den Jenggala ya?”
“Eh iya Bu, kalau boleh tau rumah sakit mana ya?”
“Rumah sakit Kencana no. 503 mbak.”
“Baik, terima kasih banyak, Bu. Saya permisi.”
“Sama-sama mbak.”
Aku pun bergegas masuk ke Mobil Bima. Kemudian aku mendengar sahutan bibi, “Eh temennya Den jenggala, tapi kok nanyain bapak ya?”
Aku risaukan pertanyaan itu, aku kemudian meminta Bima untuk mengantarkan ke alamat rumah sakit yang tadi Bibi bilang.
Sesampainya di rumah sakit aku langsung bergegas masuk. Karena Bima tidak bisa menahan rasa penasarannya dia bertanya kepadaku. “Kenapa kamu mencari orang yang bernama Jenggala itu?” Tanya bima.
“Kamu akan tahu nanti.” jawabku sambil tersenyum tipis.
Tak terasa aku sudah di depan ruangan inapku. Aku langsung masuk dan aku melihat ayah ibuku sedang menemaniku yang terbaring di ranjang rumah sakit. Aku melihat mata keduanya sembab. Aku juga melihat tubuhku terbaring lemah. Melihat itu semua aku menjadi sedih. Aku tidak menyadari air mataku turun.
Orang tuaku menyadari ada yang masuk, mereka pun menengok. Mata keduanya bertatapan denganku.
***
Bersambung…