Sukabumihitz – Battered Woman Syndrome (BWS), atau “sindrom wanita babak belur” dalam bahasa Indonesia, menggambarkan kondisi psikologis serius yang muncul akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berulang. Lebih dari sekadar “luka fisik”, kondisi ini juga menyasar jiwa dan emosi korban—perlu mendapat perhatian serius masyarakat dan layanan kesehatan mental.
Apa Itu Battered Woman Syndrome?
Psikolog Lenore E. Walker pertama kali mengenalkan istilah Battered Woman Syndrome pada akhir tahun 1970-an. Walker pada akhir tahun 1970-an untuk menggambarkan pola perilaku yang muncul akibat KDRT berkepanjangan. Meskipun bukan diagnosis resmi dalam DSM-5, sindrom ini kerap dianggap sebagai subtipe dari Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan membantu dalam memahami kompleksitas trauma yang dialami korban.
Menurut Encyclopedia Britannica, BWS merupakan pola psikologis dan perilaku korban kekerasan rumah tangga yang memperlihatkan respons trauma yang mendalam, meski tanpa kriteria klinis yang spesifik.
Gejala dan Siklus Kekerasan yang Menjerat
Korban BWS sering kali mengalami siklus kekerasan berulang yang menciptakan perasaan ketidakberdayaan, ketakutan mendalam, dan isolasi emosional. Studi dari Healthline menggambarkan kondisi ini: korban trauma sulit meninggalkan pelaku karena kompleksitas rasa takut dan ancaman terhadap keselamatan dirinya.
Tahapan umum dalam menghadapinya meliputi:
- Denial: menyangkal atau meremehkan kekerasan yang menimpa dirinya.
- Guilt: merasa bersalah, bahkan menganggap bahwa kekerasan terjadi karena kesalahannya.
- Enlightenment: mulai menyadari bahwa dirinya tidak bersalah dan pelaku yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan.
- Responsibility: menyadari pelaku adalah sumber kekerasan dan mulai mempertimbangkan untuk keluar dari hubungan.














