Gaya Hidup

Quarter Life Crisis di Kalangan Mahasiswa: Tantangan Nyata Masa Transisi

80
×

Quarter Life Crisis di Kalangan Mahasiswa: Tantangan Nyata Masa Transisi

Sebarkan artikel ini
Quarter Life Crisis sebagai Fenomena Psikologis Mahasiswa di Usia Dewasa| Sumber: Amartha.com
Quarter Life Crisis sebagai Fenomena Psikologis Mahasiswa di Usia Dewasa| Sumber: Amartha.com

Sukabumihitz – Memasuki usia awal 20-an, banyak mahasiswa mulai merasa cemas, bingung, dan tidak yakin terhadap arah hidup yang mereka pilih atau tentukan sendiri. Perasaan ini kerap kali muncul tiba-tiba, bahkan di tengah rutinitas kuliah yang padat. Fenomena ini sering disebut sebagai quarter life crisis (QLC), dan ternyata, kondisi seperti ini bukan lagi hal asing bagi generasi muda termasuk kalangan mahasiswa.

Apa Itu Quarter Life Crisis?

Quarter life crisis merupakan fase ketidakpastian emosional dan eksistensial yang biasanya menghampiri individu berusia 18 hingga awal 30-an. Pada masa ini, seseorang sering merasa terombang-ambing antara tuntutan masa depan dan kebingungan akan jati diri. Kondisi ini tidak muncul begitu saja, tetapi dipengaruhi oleh berbagai faktor personal dan sosial. Menurut jurnal dari Universitas Bosowa, banyak mahasiswa mengalami QLC dengan intensitas yang berbeda-beda, tergantung pada gender, semester kuliah, dan status hubungan pribadi.

Kenapa Mahasiswa Rentan Alami QLC?

Sejumlah faktor membuat mahasiswa lebih rentan menghadapi QLC daripada kelompok usia lainnya;

1. Tekanan Akademik dan Sosial

Mahasiswa berada di masa transisi antara remaja dan dewasa. Pada usia ini, tekanan untuk merancang masa depan yang jelas sering datang dari lingkungan sekitar maupun diri sendiri. Banyak dari mereka mulai merasa terbebani oleh ekspektasi yang terus meningkat. Harapan dari orang tua, dosen, dan lingkungan sosial bisa menjadi tekanan tersendiri.

2. Kebingungan Karier

Banyak mahasiswa mulai mempertanyakan alasan mereka memilih jurusan, arah karier setelah lulus, serta keterkaitan ilmu yang mereka pelajari dengan dunia kerja.

3. Pengaruh Media Sosial

Melihat teman seangkatan yang terlihat “lebih sukses” di media sosial bisa memicu perasaan tidak cukup baik dan gagal. Ini memperkuat perasaan krisis identitas.

4. Burnout dan Kehilangan Motivasi

Beban tugas kuliah, organisasi, dan kehidupan pribadi yang padat bisa menyebabkan kelelahan mental. Jika seseorang tidak mengelola burnout dengan baik, kondisi ini bisa berkembang menjadi krisis jangka panjang.

Baca juga: Overthinking Tengah Malam: Kenapa Selalu Muncul Saat Mau Tidur?

Tanda-Tanda Kamu Mengalami QLC

Mengenali gejalanya bisa jadi langkah awal untuk mengatasinya. Beberapa ciri umum QLC antara lain:

  • Merasa bingung dan cemas soal masa depan
  • Tidak termotivasi untuk menjalani rutinitas
  • Merasa tertinggal dibandingkan orang lain
  • Sulit membuat keputusan penting
  • Sering merasa tidak puas dengan diri sendiri

Menurut Kementerian Kesehatan, kesadaran terhadap kondisi ini penting agar individu tidak jatuh ke dalam kondisi mental yang lebih serius.

Cara Menghadapi Quarter Life Crisis

Meski tidak mudah, QLC bukanlah akhir segalanya. Berikut beberapa cara yang bisa membantu:

  • Lakukan refleksi diri.Tanyakan pada diri sendiri apa yang benar-benar diinginkan.
  • Kurangi perbandingan.Ingat, media sosial hanya menampilkan versi terbaik hidup seseorang.
  • Bangun support system.Bercerita kepada orang yang kita percayai atau kepada konselor sering kali sangat membantu.
  • Tetapkan tujuan jangka pendek. Fokus pada langkah kecil yang bisa kamu kontrol.
  • Rawat diri. Jaga pola makan, istirahat cukup, dan rutin berolahraga untuk mendukung kesehatan mentalmu.

Menghadapi Quarter Life Crisis dengan Kesadaran dan Kendali Diri

Quarter life crisis adalah fase yang wajar yang sering muncul pada mahasiswa yang sedang berada di masa transisi menuju kedewasaan. Perasaan cemas, bingung, dan tekanan dari lingkungan bukanlah tanda kegagalan, melainkan proses alami dalam pencarian jati diri dan arah hidup.Namun, tanpa pemahaman yang tepat, fase ini bisa terasa membingungkan dan melelahkan secara mental.

Meski begitu, fase ini tetap membutuhkan kesadaran dan respons yang sehat agar tidak berlarut. Dengan mengenali gejala serta mengambil langkah proaktif seperti refleksi diri, membangun dukungan sosial, dan menjaga kesehatan mental, mahasiswa dapat melewati masa ini dengan lebih tenang dan siap menghadapi masa depan dengan percaya diri.

Baca juga: Rahasia Manajemen Waktu Ala Gen Z: Tetap Produktif Tanpa Kehilangan Healing Time