Teknologi

Empati Buatan dan Dunia Digital: Saat AI Belajar Jadi Manusia

4
×

Empati Buatan dan Dunia Digital: Saat AI Belajar Jadi Manusia

Sebarkan artikel ini
empati buatan antara manusia dan AI
Ilustrasi empati buatan antara manusia dan AI | Sumber: Generated AI (Gemini 2.5)

Etika di Era Empati Digital

Pertanyaan etis muncul siapa yang bertanggung jawab jika empati buatan menimbulkan dampak negatif? Apakah pengembang, perusahaan, atau algoritma itu sendiri?

Banyak pakar etika teknologi menilai bahwa transparansi harus menjadi fondasi utama. Pengguna berhak tahu kapan mereka berinteraksi dengan manusia, dan kapan dengan mesin.

Selain itu, ada kebutuhan mendesak untuk mengatur batas penggunaan emotional AI dalam bidang sensitif seperti kesehatan mental atau pendidikan. Tanpa pedoman etis yang jelas, risiko penyalahgunaan bisa meningkat. Empati seharusnya menjadi jembatan antar manusia, bukan sekadar fitur yang dioptimalkan demi keuntungan.

Manusia Tetap Pusat dari Empati

Teknologi mungkin bisa memprediksi emosi, tapi hanya manusia yang benar-benar bisa merasakan. Empati sejati lahir dari pengalaman, kesadaran, dan nilai moral sesuatu yang tidak dapat dikodekan ke dalam algoritma.

Maka, di tengah arus inovasi digital, penting bagi manusia untuk tetap menjadi pusat dari empati itu sendiri.

Kita boleh menciptakan mesin yang memahami perasaan, tetapi jangan sampai kehilangan kemampuan untuk benar-benar merasakannya.

Baca Juga: Kembali Digelar, Workshop Pahlawan Digital Dorong Literasi AI di Dunia Pendidikan