Sukabumihitz – Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah merupakan periode yang sangat istimewa dalam kalender Islam. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT bersumpah demi waktu fajar dan malam-malam yang sepuluh, sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Fajr ayat 1-2:
Pertama:
Allah Ta’ala telah bersumpah dengan hari tersebut secara umum dan sebagiannya secara khusus. Allah Ta’ala berfirman,
وَالْفَجْرِ (1) وَلَيَالٍ عَشْرٍ (2)
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh”. (QS. Al Fajr: 1-2).
Para ulama menafsirkan fajar:
- Waktu fajar
- Terbitnya waktu shalat
- Waktu siang secara keseluruhan
- Fajar dari sepuluh hari pertama Dzulhijjah
- Hari Nahr (Idul Adha).
Semuanya termasuk pada 10 Dzulhijjah. Sedangkan ‘malam yang sepuluh’ merujuk pada sepuluh malam awal Dzulhijjah. Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama salaf ahli tafsir dan selain mereka. Dan pendapat ini shahih pula dari Ibnu ‘Abbas.
Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam juga menegaskan keistimewaan hari-hari ini dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari:
“Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari ini.” (HR. Bukhari no. 969)
Kedua:
Sepuluh hari awal Dzulhijjah adalah penutup asyhurum ma’lumaat (bulan yang dimaklumi) yaitu bulan dilaksanakan haji. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi” (QS. Al Baqarah: 197)
Asyhurum ma’lumaat dalam konteks ini adalah Syawwal, Dzulqo’dah, 10 hari Dzulhijjah. Pendapat ini berasal dari riwayat Ibnu ‘Umar, anaknya ‘Abdullah, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Zubair dan selainnya. Demikian pendapat kebanyakan tabi’in. Juga hal ini menjadi pendapat madzhab Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Abu Tsaur dan selainnya. Akan tetapi Imam Syafi’i dan lainnya mengeluarkan hari Idul Adha dari maksud tersebut, sedangkan ulama lain tetap memasukkannya karena Idul Adha adalah hari haji akbar dan banyak ritual haji berlangsung pada hari tersebut.
Baca juga: Bulan Dzulhijjah: Bulan Suci Penuh Keutamaan dalam Islam
Ketiga:
Sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah ayyam ma’lumaat (hari-hari yang dimaklumi) yang disyari’atkan dzikir atas rizki hewan ternak sembelihan yang dianugerahkan. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ (27) لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (28)
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj: 27-28).
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa hari-hari yang dimaklumi (ayyam ma’lumaat) adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Demikian pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Mujahid, ‘Ikrimah, Qotadah, An Nakho’i, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Keempat:
Sepuluh hari pertama Dzulhijjah termasuk 40 hari yang Allah janjikan pada Nabi Musa ‘alaihis salam. Allah Ta’ala berfirman,
وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Rabbnya empat puluh malam.” (QS. Al A’rof: 142).