Sukabumihitz – Langkah tegas Riva Siahaan dalam membongkar praktik kecurangan di SPBU Sukabumi justru berbanding terbalik dengan kasus yang menyeret namanya beberapa hari kemudian. Kejaksaan Agung menetapkannya sebagai tersangka dalam dugaan skandal korupsi tata kelola minyak yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah. Penetapan ini mengejutkan karena hanya berselang beberapa jam setelah ia menerima penghargaan lingkungan. Kejadian ini menimbulkan ironi dan mempertanyakan transparansi serta integritas pengelolaan energi nasional.
Dugaan Skandal Korupsi Minyak yang Menjerat Pejabat Pertamina
Empat hari setelah berkunjung ke Sukabumi, Kejaksaan Agung menetapkan Riva Siahaan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang merugikan negara Rp193,7 triliun. Ironisnya, beberapa jam sebelumnya, ia justru menerima penghargaan atas kinerja lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup.
Kejaksaan Agung menetapkan Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, bersama tiga petinggi Pertamina lainnya sebagai tersangka, yaitu bersama Sani Dinar Saifuddin, Yoko Firnandi, dan Agus Purwono, yang juga petinggi Pertamina. Selain itu, tersangka lain dalam kasus ini mencakup pihak dari sektor swasta.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa kasus ini terjadi saat kebijakan mewajibkan pemenuhan minyak mentah dari pasokan domestik. Namun, sejak 2018 hingga 2023, Riva Siahaan dan dua rekannya justru menurunkan produksi kilang dalam negeri. Akibatnya, minyak nasional diekspor, sementara kebutuhan dalam negeri dipenuhi melalui impor yang lebih mahal.
Baca Juga : Ratusan Mahasiswa Sukabumi Gelar Aksi Protes di DPRD, Soroti Pemangkasan Anggaran Pendidikan
Modus Kecurangan dan Dampak terhadap Perekonomian
Penyelidikan mengungkap bahwa terdapat kerja sama ilegal antara pejabat Pertamina dan broker dalam pengadaan impor minyak mentah serta produk kilang. Mereka memenangkan broker tertentu secara melawan hukum, sehingga harga impor menjadi tidak wajar.
Selain itu, pihak berwenang menduga adanya praktik blending bahan bakar yang menyimpang dari prosedur. Petugas di depo mengolah kembali minyak dengan kadar RON 90 (Pertalite) menjadi RON 92 (Pertamax), padahal hal ini seharusnya dilarang. Tindakan tersebut menaikkan harga bahan bakar. Praktik ini menaikkan harga BBM dalam negeri dan meningkatkan harga indeks pasar (HIP) BBM sebagai acuan subsidi.
Proses Hukum dan Harapan Publik atas Penegakan Keadilan
Kasus ini merupakan salah satu skandal terbesar di sektor energi Indonesia, berdampak besar pada perekonomian dan keuangan negara. Dugaan penggelapan dalam pengelolaan minyak tidak hanya merugikan negara, tetapi juga membebani masyarakat dengan harga bahan bakar yang lebih tinggi akibat manipulasi para pelaku. Proses hukum masih berjalan, sementara publik menanti ketegasan pihak berwenang untuk menegakkan keadilan dan mencegah skandal serupa.