Sukabumihitz – Tupperware, merek peralatan rumah tangga yang terkenal di kalangan ibu-ibu Indonesia, resmi bangkrut setelah 78 tahun beroperasi. Perusahaan asal Amerika Serikat ini mengajukan perlindungan kebangkrutan pada 17 September 2024 di Delaware, AS. Beban utang yang membengkak hingga US$812 juta atau sekitar Rp12,4 triliun menjadi salah satu alasan utama kebangkrutan tersebut.
Penurunan permintaan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir menjadi tantangan besar bagi Tupperware. Perusahaan mencoba menjual produknya melalui toko ritel dan platform online, namun gagal menarik minat konsumen. Bahkan, model “Pesta Tupperware,” yang populer di masa lalu, kini tak lagi efektif.
CEO Tupperware, Laurie Goldman, menjelaskan bahwa kondisi makroekonomi yang sulit selama beberapa tahun terakhir memperburuk situasi keuangan perusahaan. Selain itu, merek-merek lain yang menawarkan produk serupa dengan harga lebih murah dan ramah lingkungan semakin mendominasi pasar.
Tupperware melaporkan asetnya berkisar antara US$500 juta hingga US$1 miliar, sedangkan kewajibannya mencapai US$1 miliar hingga US$10 miliar dalam dokumen kebangkrutan yang diajukan. Hal ini membuat perusahaan tak mampu lagi mengelola beban utangnya yang besar.
Baca Juga: Mulai Usaha dari Rumah? Ini 7 Ide Bisnis Populer yang Bisa Jadi Sumber Cuan!
Selain itu, kenaikan biaya bahan baku seperti resin plastik, tenaga kerja, dan pengiriman setelah pandemi semakin menyulitkan Tupperware. Menurut James Gellert, pakar dari firma keuangan RapidRatings, kondisi ini menyebabkan perusahaan kesulitan untuk bertahan di pasar.
Meskipun pada 2023 Tupperware sempat merestrukturisasi utangnya dan bekerja sama dengan bank investasi Moelis & Co, usaha tersebut belum cukup untuk menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. Kini, masa depan Tupperware akan bergantung pada keputusan pengadilan terkait permohonan perlindungan kebangkrutan mereka.
Tupperware pernah menjadi pilihan utama, tetapi kini kalah saing dengan merek lain yang lebih inovatif dan terjangkau. Namanya juga sering digunakan untuk menyebut produk sejenis, fenomena ini disebut generikisasi.
Kebangkrutan ini menyisakan kenangan bagi banyak orang, terutama ibu-ibu yang dulu mengandalkan merek ini untuk menyimpan makanan atau menjualnya sebagai usaha sampingan. Sejak berdiri pada 1946, perusahaan ini telah menjadi bagian dari banyak keluarga di seluruh dunia. Namun, kini perusahaan tersebut kesulitan bersaing di tengah ketatnya persaingan bisnis.