Sukabumihitz – Kecerdasan buatan (AI) kini tak lagi sekadar memahami data ia mulai mencoba memahami manusia. Dari chatbot layanan pelanggan yang mampu “menenangkan” pengguna, hingga algoritma yang bisa mengenali emosi lewat ekspresi wajah, empati buatan kini menjadi bagian dari upaya teknologi meniru manusia.
Tujuannya sederhana menciptakan interaksi yang terasa lebih manusiawi. Namun, di balik kecanggihan itu, muncul pertanyaan besar apakah mesin benar-benar bisa memahami perasaan manusia, atau hanya menirunya dengan sempurna?
Membedakan Empati Sejati dan Empati Buatan
Empati adalah kemampuan memahami dan merasakan emosi orang lain. AI, di sisi lain, bekerja lewat pola data. Ia “belajar” dari jutaan interaksi untuk menebak reaksi yang paling tepat.
Mesin memang bisa meniru respons emosional, tetapi tanpa kesadaran, semua itu hanyalah simulasi. Di sinilah muncul dilema etis ketika batas antara empati manusia dan empati buatan menjadi kabur.
Baca Juga: Kolaborasi AI dan Manusia, Tidak Hanya Canggih Tapi Harus Bijak!
Empati Buatan dan Manipulasi Emosi
Teknologi yang meniru empati membawa potensi besar, tetapi juga bahaya tersendiri. Misalnya, sistem AI dalam iklan digital bisa “mengenali” suasana hati pengguna dan menampilkan promosi yang sesuai kondisi emosinya.
Saat seseorang merasa sedih, AI mungkin menawarkan produk yang memberi kenyamanan. Sekilas tampak cerdas, namun juga manipulatif.
Di media sosial, algoritma yang “paham” emosi kerap memunculkan konten pemicu reaksi emosional tinggi tawa, amarah, atau kesedihan demi menjaga pengguna tetap aktif di platform. Di titik ini, empati buatan bukan lagi bentuk perhatian, melainkan alat eksploitasi perasaan manusia.