Sukabumihitz – Imposter Syndrome kini semakin sering muncul di tengah tren belajar pemrograman yang kian ramai, terutama di kalangan mahasiswa dan generasi muda. Banyak programmer pemula mulai meragukan kemampuan mereka sendiri, meskipun sudah menyelesaikan proyek pribadi atau menguasai dasar-dasar bahasa pemrograman seperti JavaScript dan Python.
Perasaan tidak pantas atau kurang mumpuni sering muncul bukan karena gagal, tapi karena mereka sendiri meragukan keberhasilan yang sudah dicapai.
Overthinking di Tengah Komunitas
Banyak pertanyaan serupa muncul di forum-forum komunitas seperti Discord, Telegram, hingga grup belajar kampus. Pemula yang sudah menyelesaikan mini project tetap merasa “kurang” atau “belum cukup jago”. Hal ini seringkali dipicu oleh unggahan media sosial, di mana progress orang lain terlihat lebih cepat, lebih keren, bahkan sudah bekerja di startup besar saat masih semester awal kuliah.
Dampaknya, muncul pikiran seperti: “Aku cuma ngikutin tutorial,” atau “Kayaknya aku cuma hoki.” Mereka pun cenderung membandingkan diri secara berlebihan, yang perlahan-lahan meruntuhkan kepercayaan diri yang sedang tumbuh.
Tekanan Hustle Culture di Dunia Teknologi
Budaya kerja keras berlebihan atau hustle culture juga memperburuk situasi. Banyak programmer pemula merasa harus menguasai segala bidang sekaligus dari web development, mobile app, database, hingga artificial intelligence dalam waktu singkat. Padahal, karier di bidang teknologi menuntut konsistensi dan proses, bukan sekadar kecepatan.
Baca Juga: Jago Public Speaking = Karier Melesat! Ini Cara Latihannya
Di Indonesia, banyak komunitas belajar menerima curhatan dari peserta yang merasa tertinggal. Padahal, mereka sebenarnya hanya sedang menapaki jalur belajar yang berbeda. Setiap orang punya ritme dan proses belajar masing-masing yang tidak bisa disamakan satu sama lain.
Pemahaman Diri dan Lingkungan yang Suportif
Imposter Syndrome sering muncul saat seseorang belum bisa menyeimbangkan kemampuan nyata dengan cara pandang terhadap diri sendiri. Di dunia teknologi yang kompetitif dan terus berubah, pemula mudah merasa tertekan dan meragukan diri.
Untuk mengatasinya, mulai dari hal kecil. Apresiasi kemajuan seperti paham satu konsep baru, menyelesaikan modul kursus, atau membantu teman mengatasi error. Langkah sederhana ini bisa membangun kepercayaan diri secara bertahap.
Belajar Pemrograman Butuh Proses
Transformasi digital yang pesat dan meningkatnya kebutuhan tenaga IT menuntut banyak orang belajar cepat. Namun, pemula perlu sadar bahwa belajar pemrograman adalah proses jangka panjang. Tak perlu buru-buru jadi ahli. Yang penting konsisten, reflektif, dan berada di lingkungan komunitas yang suportif.
Imposter Syndrome mungkin tak sepenuhnya hilang, tapi dengan kesadaran diri dan dukungan yang tepat, setiap orang bisa tetap berkembang.
Baca Juga: Saat AI Menjadi Jalan Pintas: Apakah Masa Depan Intelektual Mahasiswa Terancam?