Sukabumihitz – Search engine dan algoritma personalisasi membentuk pola pikir pengguna di tengah arus informasi digital yang terus bergerak cepat. Namun, sejumlah pendapat mempertanyakan apakah manusia masih memegang peran sebagai subjek yang bebas berpikir, atau justru sistem digital telah mengambil alih kendali manusia dalam berpikir dan bertindak?
Dari Kenyamanan Beralih Menjadi Ketergantungan
Beberapa pendapat menyebutkan bahwa personalisasi berbasis algoritma merupakan solusi cerdas. Netflix tahu apa yang ingin pengguna tonton, Instagram menyajikan konten sesuai preferensi, Google menunjukkan hasil pencarian yang relevan. Namun, banyak pengguna tidak menyadari bahwa ruang eksplorasi semakin sempit. Algoritma secara aktif menyajikan konten yang diinginkan pengguna, sehingga perlahan membatasi sudut pandang dan ruang eksplorasi informasi yang lebih luas.
Hal ini menciptakan efek gelembung filter (filter bubble), di mana individu terperangkap dalam satu perspektif. Pengguna tampak seolah memilih, padahal sebenarnya sistem yang menentukan pilihan. Semakin lama pengguna menggunakan platform digital, semakin besar pula pengaruh algoritma terhadap cara berpikir, merasa, bahkan menentukan keputusan.
Personalisasi yang berlebihan membuat kehilangan pengalaman otentik dalam menjelajah informasi. Rekomendasi yang muncul bukan lagi refleksi kebutuhan sesungguhnya, melainkan hasil manipulasi data konsumsi digital pengguna. Kondisi ini menjebak pengguna dalam siklus yang berulang, mempersempit wawasan, dan mematikan keingintahuan alami yang seharusnya tumbuh dari keberagaman informasi.
Baca Juga : Apa itu Deepfake dan dampaknya untuk media sosial?
Melawan dengan Kesadaran Digital
Kesadaran digital bukan sekadar kemampuan teknis dalam memfilter konten, tetapi juga melibatkan refleksi kritis terhadap interaksi dengan teknologi. Literasi digital menjadi bekal penting, agar pengguna mampu membaca pola algoritma, menilai konten secara kritis, dan mengendalikan teknologi sesuai tujuan.
Pengguna perlu membangun kesadaran digital sebagai langkah utama untuk menghindari penjajahan dalam era digitalisasi. Belajar mengatur algoritma, memvariasikan sumber informasi, dan membangun digital hygiene merupakan langkah awal dalam melawan dominasi algoritma serta wujud nyata dari kesadaran digital.
Kita sebagai pengguna tidak harus menolak teknologi, tetapi perlu mengelolanya dengan sikap kritis dan penuh kesadaran. Dengan begitu, kita tetap bisa menikmati manfaat teknologi tanpa harus kehilangan kendali atas kebebasan berpikir.